Siapa Ibu Kita

Seorang ibu setengah baya dibunuh setelah diperkosa. Kedua anaknya, satu laki dan satu perempuan, menemukannya tergeletak setengah telanjang di kamar tengah. Tentu, mereka sedih dan marah, terbesit sebuah dendam dengan daftar balas dendam kepada sang pembunuh dan pemerkosa ibunya. Nyawa harus dibalas dengan nyawa, kehinaan dibalas kehinaan, tekad sang anak laki-laki untuk balas dendam. Sementara saudara perempuannya dengan sifat khas kodratinya menangis meratapi ibunya.
Tak lama setelah itu datang seorang lelaki muda, menghampiri keduanya. Berkata-kata manis, penghibur lara, sambil membukakannya dua buah gula-gula kepada mereka. Sang pemuda menawarkan agar mereka mau diasuh. Terang saja keduanya mau, berkat iming-iming pemuda tersebut. Kemudian mereka diberi makan, diasuh dibesarkan dan diajar pula tentang bagaimana hidup dan bertahan. Disampaikan kepada sang anak lelaki bahwa kita lahir membawa hak asasi, kita bebas melakukan apapun, berpandangan terhadap apapun dan berpendapat. ”Belajarlah dariku” kata pemuda itu. ”beginilah kemapanan, beginilah hidup nyata”katanya pula.
Sang anak lelaki banyak belajar dari sang pemuda. Hari berikutnya ia memikirkan semua yang dikatakan sang pemuda, bahwa ia lahir dengan hak. Ia juga meniru setiap gerak-gerik pemuda tersebut. Tanpa bersalah ia memperkosa saudara perempuannya.
Kini ia lupa pada derita ibunya, bahkan ia lupa kalau ia punya ibu. Ingatannya terhapus, bahwa ia pernah lahir dari rahim seorang ibu. Kini ia hidup memuja kemapanan seperti pemuda tersebut. Minum minuman pemuda tersebut, makan makanan pemuda tersebut, berjalan seperti berjalan pemuda tersebut dan mencoba meniru seluruh kehidupannya karena menganggap itu kemapanan. Kemapanan seorang pemuda yang sebenarnya adalah pembunuh dan pemerkosa ibunya dulu.
Ha ha ha!
***
Kita telah membunuh dan memperkosa saudara kita, juga melupakan Ibu kita. Islam