JAUH MENDONGAK, DEKAT MENUNDUK (HIPOKRITIS)

: catatan kecil untuk temanku, aktivis

Tidak berlebihan ketika Muchtar Lubis dalam ceramahnya pada tanggal 6 April 1977 di taman Ismail Marzuki menyebutkan bahwa manusia Indonesia memiliki ciri-ciri psikis: hipokritis, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya kepada takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Dengan bijak, kita harus mengakui pernyataan Muchtar Lubis tersebut. Ingat, itu baru menurut Muchtar Lubis yang masih termasuk saudara kita sebangsa setanah air. Biasanya jika masih sekawan, seseorang akan sangat tidak enak untuk blak-blakan. Watak yang biasanya membuat kita merasa sebal adalah hipokritis (baca: munafik, suka berpura-pura), terlepas dari kita sendiri memilikinya atau tidak.

Tidak berlebihan ketika kita merasa kecewa dengan seorang mahasiswa (baca:aktivis) yang memiliki watak tersebut. Apalagi jika mahasiswa tersebut mengaku sebagai pembela akar rumput. Berbagai aksi ia ikuti, segala kritik untuk para pejabat kampus ia tuangkan di sebuah buletin hingga penuh, membludak dengan nada yang berteriak-teriak hingga pembaca membayangkan kepala penulisnya mendongak. Akan tetapi ketika berhadapan langsung dengan pejabat tersebut, kepala menunduk, tersenyum-senyum, seakan mengiyakan segala pembicaraan pejabat tersebut. Pejabat berjalan cepat, dikejarnya agar sejajar langkah keduanya. Ketika pejabat kampus mau memasuki mobil, bersalaman lah ia sambil agak membungkukkan badan. Salamnya terucap dengan senyum khas aktivis kampus dan tak lupa tangan melambai. Membalikkan badan ketika mobil pejabat kampus tak terlihat lagi. Kemudian baru teringat lagi BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan iklan rokok masuk kampus. Kontras sekali ternyata, antara ekspresi tulis dengan ekspresi lisan.

Semua orang Indonesia mungkin berpotensi untuk memiliki hipokritis. Tak terkecuali mahasiswa yang katanya penuh dengan idealis. Penuh dengan teori-teori untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kampus agar hidup aman, damai, dan sejahtera dengan segala haknya. Oleh karena itu, kita harus menyeimbangkan antara ekspresi tulis dan lisan agar tidak timpang. Kalau watak kita memang tidak bisa agak tegas kepada penguasa, agak diperhalus sedikitlah bahasa-bahasa yang kita tuangkan di dalam tulisan kita. Hal itu ada tujuannya yaitu, agar kalau jauh tak terkesan mendongak dan kalau dekat tak terkesan menunduk. Namun, tidak berlebihan ketika kita mengakui bahwa itu merupakan suatu hal yang sulit.