UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, UNY BAWAHTANAH
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, UNY BAWAHTANAH

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Selamat datang di dunia bawah tanah UNY, Universitas Negeri Yogyakarta. Kami ingin bebas berpendapat, kami ingin mengetahui apapun bagian tersembunyi dari kampus ini. bukan untuk menjatuhkan apalagi kesombongan dan ketamakan, melainkan perbaikan. Untuk sebuah kenyataan bahwa kita sama
May 2024
MonTueWedThuFriSatSun
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
CalendarCalendar
Latest topics
» tahun ini pemilwa di UNY berbeda
Lemari Besi Icon_minitimeSat Dec 08, 2012 6:46 pm by awan

» kritik dan saran
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 30, 2009 12:04 pm by Admin

» JAUH MENDONGAK, DEKAT MENUNDUK (HIPOKRITIS)
Lemari Besi Icon_minitimeMon Sep 28, 2009 12:21 am by ayo_sholat_jhenk

» ("\_SANDIWARA_/")
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 23, 2009 4:27 pm by Admin

» Alamat Baru : WWW.FORUM-UNY.TK
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 23, 2009 4:19 pm by Admin

» YANG BENER YANG MANA
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 16, 2009 3:02 pm by ayo_sholat_jhenk

» palestina seonggok derita fana
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 16, 2009 1:22 pm by ayo_sholat_jhenk

» MAHASISWA DAN ROMANTISME SEJARAH : catatan kecil untuk aktivis UNY
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 16, 2009 2:09 am by ayo_sholat_jhenk

» Berani Mengritik, Berani Memberi Solusi
Lemari Besi Icon_minitimeWed Sep 16, 2009 12:34 am by ayo_sholat_jhenk

Datang Dari :
peta pengunjung
Locations of visitors to this page
total pengunjung
dari tanggal 9 januari 2009
website-hit-counters.com
website-hit-counters.com

 

 Lemari Besi

Go down 
PengirimMessage
gunt




Jumlah posting : 11
Registration date : 10.02.09

Lemari Besi Empty
PostSubyek: Lemari Besi   Lemari Besi Icon_minitimeTue Feb 10, 2009 8:38 pm

Sebuah rumah sunyi di tepi kali berpenghuni sepasang suami istri. Keluarga mini. Begitulah, orang-orang menjuluki, karena pasangan muda itu baru memiliki seorang buah hati. Sebenarnya mereka bermaksud menambah anak lagi. Tapi mereka berubah pikiran sememnjak pasar tempat mereka berjualan—hangus dilalap api. Tak ada barang yang tersisi kecuali potongan-potongan besi. Itu pun tidak sempat dihargai apalagi dijual karena sudah diambil oleh pemulung yang datang silih berganti.
Payahnya lagi, keluarga itu tidak ikut program asuransi. Sehingga semua kerugian tidak ada yang mengganti. Tabungan mereka pun hanya disimpan di almari besi. Entah kenapa suami istri itu sejak dulu tak mau bekerja sama dengan perusahaan asuransi—juga BNI. Namun itulah yang sudah terlanjur terjadi. Setelah kebakaran, kios habis, dan lemari besi itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Berapa kerugiannya tidak diketahui secara pasti.
Setelah kejadian itu, sang suami berniat untuk gantung diri. Sang istri pun sudah membeli obat pembasmi yang rencananya akan diminum esoknya setelah sarapan pagi. Tetapi mereka masih berfikir dua kali. Kalau mereka bunuh diri, siapa yang akan mengurus sang bayi?
Kebetulan datang Pak Haji untuk menghibur dan menyemangati “ Hidup ini hanya sekali. Siapa yang hidup pasti akan mati. Tak ada untungnya bunuh diri. Hanyalah seorang pengecut yang akan menjalani. Bahkan Allah mengancamnya dengan neraka yang penuh nyala api. “
Mendengar nasehat Pak Haji, suami istri itu menangis tiada henti dari sore sampai menjelang pagi. Tangis mereka akhirnya terhenti sebab air mata sudah tidak ada lagi. Dengan suara yang hampir tidak terdeteksi, sang suami berbicara kepada Pak Haji: “Pak Haji, hidup saya kini sudah tidak berarti. Kios sudah terlalp api. Uang tak ada lagi. Mana mungkin saya bisa memberi makan anak dan istri? Itulah kenapa saya sempat memutuskan untuk selama-lamanya pergi.”
Pak Haji kemudian berdiri, memberi motivasi, juga solusi. Pasangan itu mengangguk pertanda mengerti. Akhirnya, Pak Haji meninggalkan rumah keluarga itu, sehingga suasana kembali kembali sunyi.
Sejak harga-harga melambung tinggi, rumah itu menjadi semakin sepi. Dari radio, televisi, serta isi-isi lemari yang bernilai tinggi, satu persatu dijual untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sang bayi. Di daerah ini, kasus busung lapar telah lama menghantui. Maka suami istri itu tidak mau sang anak menjadi selebriti yang berulangkali masuk televisi hanya gara-gara terkena penyakit kurang gizi.
Mau gimana lagi? Sang suami kini hanya sebagai kuli angkut di pasar Legi. Di musim panen atau musim tanam, ia tidak malu menjadi buruh tani. Sesekali mencari ikan untuk menambah suplai gizi. Sementara sang istri hanya buruh cuci di rumah bu Haji. Kerjannya seminggu sekali. Ee,,,, gajinya Cuma pas idul fitri. Tapi lumayanlah… tiap hari sudah bisa membawa pulang serantang nasi. Yang jelas tidak ada rasa sakit hati. Justru syukur yang terucap setiap hari. Sang istri yakin—selama ia ikhlas mengabdi—pahala dari sisi Allah mengalir tiada henti.
****
Lima tahun berlalu semenjak sang anak mampu berdiri. Kini, bukan saja berlari, tapi sang anak telah mampu menghitung jari. Bahkan ia sempat menghitung hari ketika sang ibu pergi lama tak kembali. Katanya sih mau menunggui rumah Bu Haji. Tentu saja karena rumahnya ditinggal pergi ke Arab Saudi.
“Berapa hari nak ibu tidak ada di sini?” Sang bapak menguji ketika waktu telah genap tiga puluh hari.
Sang anak mengernyitkan dahi. Berfikir dalam hati, sesekali membentangkan jari-jemari. Ia tampak frustasi. Jarinya yang berjumlah sepuluh tidak cukup untuk menghitung berapa lama ibunya pergi.
Setelah lama dinanti, sang ibu datang di tengah hari. Kedua tangannya menenteng sebuah panci. Bapak dan anak bertatapan tak mengerti. Mereka sebenarnya berharap sang ibu membawa serantang nasi atau beberapa bungkus roti.
“Ini air zam-zam dari luar negeri!” Kata ibu dengan muka berseri. “Dengan minum ini, segala penyakit InsyaAllah terobati.”
“Tapi Bu, aku sudah lapar sejak tadi!” Sang anak protes, wajahnya pucat pasi. “Apakah lapar juga bisa hilang berganti?”
Sejenak sang ibu diam mengerti, merenung dalam hati, lalu air matanya tumpah tanda menyesali. “Baiklah Nak, Ibu akan kembali ke rumah Bu Haji dan mengambilkan kurma beberapa biji. Tunggu saja di sini.”
“Tapi Bu, Adik tidak ingin Ibu pergi. Adik ingin Ibu selamanya menemani Adik di sini” Sang anak mencegah Ibunya melangkahkan kaki.
“Jadi Adik mau membiarkan perut Adik tidak terisi?” Sang bapak menimpali.
“Tidak Pak! Kebahagiaan berkumpul bersama ibu sudah cukup untuk memberiku energi.”
Ibu dan bapak anak itu seperti berada di salam mimpi. Mereka tidak yakin kata-kata itu muncul dari mulut anaknya sendiri.
***
Detik berlalu, hari, bulan, dan tahun ikut berganti. Suami istri itu kini berganti profesi. Sang suami yang tadinya kuli, kini sukses kembali di dunia jual beli. Sang istri mengikuti jejak suami berdagang beraneka jenis komoditi.
Keberhasilan yang didapat tentu tidak semudah melipat jari. Perlu perjuangan yang tiada henti. Permasalahan modal sudah tentu menjadi ganjalan hati. Tapi yang namanya rejeki, semua sudah diatur sang Illahi. Tidak dicari pun bisa jadi akan datang sendiri.
Pada waktu menjadi kuli, tabungan suami istri itu seperti tidak punya arti. Setelah dikurangi biaya konsumsi, sisa penghasilan sehari hanya bisa untuk membeli sebungkus nasi. Itu juga hnya setengah porsi. Berbeda jauh dengan pegawai negeri, yang barangkali gaji setiap bulannya bisa untuk menghidupi empat istri.
Untung pada saat kesulitan mengelilingi, ada orang yang merasa empati. Ya, Kesuksesan Pak sardi dan Bu Marni—nama pasangan itu—memang tidak terlepas dari jasa seorang polisi. Ia sangat berbudi. Sepintas tidak terlalu kaya, tetapi orangnya baik hati. Beliaulah yang berperan sehingga Pak Sardi mampu bangkit lagi. Modal usaha mereka dapatkan dari Pak Polisi, sedangkan hasilnya kelak akan dibagi.
***
Kini, Pak Sardi dan Bu Marni benar-benar sudah mandiri. Usahanya pesat melaju dengan pasti. Pelanggan pun berbondong-bondong datang dan pergi. Dua kios bahkan telah mereka beli, meski akhirnya harus menggaji beberapa karyawati. Lantas, siapa yang memegang kendali sebagai direksi?Pak Sardi? Atau Bu Marni? Salah sama sekali.
Ya, dialah si buah hati yang kini telah menamatkan jenjang Perguruan Tinggi. Bisa dimaklumi, ia punya ilmu dan strategi, visi serta misi. Ia memang tidak terlau berambisi, karena hanya satu yang diingini dan menjadi obsesi : membahagiakan hati orang tuanya sampai mereka menghadap ke pangkuan Yang Maha Tinggi.
***
Saatnya membalas budi. Pak Sardi dan istri datang ke rumah polisi, yang ternyata kini sudah tidak bertugas lagi. Beliau mengambil pensiun dini.
“Pak, saya sekarang sudah mandiri. Modal yang diberikan bapak akan saya kembalikan semua hari ini. Bagi hasil juga akan saya beri. Terimakasih banyak Pak, semoga Allah meridhoi.
Namun Sepasang suami isti itu kaget ketika melihat Pak polisi menangis lama tak berhenti. Air matanya terus menggenangi pipi. Kata-kata yang terucap dari mulutnya pun kadang tak bisa langsung dimengerti. Setelah mendengar dengan seksama, baru bisa dipahami.
“Pak Sardi, bukannya saya menolah atas apa yang anda beri. Tapi terus terang, semua ini adalah hak Pak Sardi dan Istri.”
Pak Sarti tertegun tidak mengerti. Orang di hadapannya angkat bicara lagi.
“Baiklah Pak Sardi, saya tidak akan membuat anda gundah hati dan penasaran lagi. Tapi sebelumnya, bila perbuatan saya tidak berkenan di hati, tolong maafkan diri ini.” Purnawirawan polisi itu akhirnya tidak menutup-nutupi.
“Pak Sardi masih ingat pada waktu kios yang di pasar Legi di lalap api?” Pak Polisi bertanya sambil berdiri, yang ditanya mengangguk menyetujui. “Tahukah Bapak kalau di sana sebenarnya masih tersisa sebagian rejeki?”
“Tapi hanya potongan besi yang tak berarti!” Pak Sarti memotong pembicaraan kali ini.
Ketiga orang itu diam serasi. Namun mantan polisi itu geleng kepala berkali-kali. “Masih ada!”
“Selain Potongan besi?”
“Bukan hanya besi, tapi masih ada juga lemari besi” Orang itu lalu berkata lagi. “Ya, uang dalam lemari itu memang musnah terpanggang besi berapi. Tapi emas di dalamnya masih bernilai tinggi. Sampai hampir tujuh tahun, polisi belum mampu mengetahui pemilik lemari. Dan, akhirnya, kami baru tahu andalah orang yang dicari. Tapi terlambat, emas itu sudah tidak ada lagi karena saya terpaksi menjualnya untuk kepentingan pribadi. Modal yang diberikan kepada Pak Sardi itu tidaklah sebanding dengan nilai isi lemari. Maafkan kami…..”
***
Keluarga Pak Sardi duduk melingkar di kursi. Di depannya, meja bundar dengan berbagai camilan menemani. Kini segala kebutuhan telah terpenuhi. Mereka sepakat untuk ikhlas atas masa lalu yang terjadi.
Namun ada satu harapan yang belum terpenuhi. Pasangan itu belum punya anak lagi. Maklum, usia Bu Marni sudah tidak memungkinkan untuk dibuahi.
“Bagaimana kalau Bapak berpoligami?” Bu Marni mencoba memberi solusi, tapi Pak Sardi malah tertawa geli.
Katanya :” Hanya engkau wanita yang kucintai….”
Sang buah hati yang sejak tadi diam akhirnya menunjukkan jari, memperlihatkan gigi seri. “Bagaimana kalau Nanda saja yang segera mencari istri?”
Orang tuanya mengangguk penuh simpati : “Lekaslah Nak, dan cepat berikan cucu untuk kami.”
Sang anak segera berdiri, berpamitan, lalu segera pergi beraksi mendapatkan seorang putri. Entah ke man ia akan mencari, tak ada yang tahu dengan pasti.
Kembali Ke Atas Go down
 
Lemari Besi
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, UNY BAWAHTANAH :: KARYA KITA :: CERPEN-
Navigasi: